MASIH MBAH DUNUN & SEPOTONG JENANG
23:41
By
metrik
0
comments
Oleh: Avef@zulgrana
Seorang dengan penampilan compang-camping, dengan baju yang seharusnya tidak layak lagi untuk dipakai, bahkan dia dikenal sebagai seorang wali tersohor. Sebenarnya siapakah dia sebenarnya. Dialah mbah Dunnun As’ary atau mbah Dunnun orang biasa menyapa semua orang mengenalinya sampai keshalehan serta kealiman beliau telah diketahui oleh semua orang.
Suatu hari, mbah Dunnun bermaksud untuk jalan-jalan ke pasar, semua orang tahu kalau beliau merupakan ulama’ sehingga semua orang di pasar tunduk dan menaruh hormat kepadanya. Disaat beliau bermaksud menanyakan harga jenang, percakapan antara mbah Dunnun dengan penjual jenang
mBah Dunnun :”Jenang iki regane piro”.(memegang sepotong jenang yang ada di hadapannya)
Penjual :”Mboten mbah, menawi jenengan ngersakke mang pendet mawon”.(salting)
mBah Dunnun :”Iki regane piro” (mengulang pertanyaan yang sama)
Penjual :”Mboten mBah mang beto mawon, mboten nopo-nopo”.
mBah Dunnun :”Aku ki mung tekok iki regane piro”
Penjual :”Gangsal ewu mbah” (sambil menahan malu)
Karena bermaksud hanya bertanya maka setelah tahu harganya mbah Dunnun meletakkan kembali jenang tersebut dan pergi dari pasar. Karena tahu jenang tersebut baru saja dipegang lumayan lama oleh mbah Dunnun, seketika itu juga semua penjual dan pembeli di pasar ramai berkerumun di depan penjual jenang dimana tadi mbah Dunnun sempat memegang jenang untuk berebut memiliki jenang yang dianggap berkah karena telah di pegang oleh seorang wali. Karena sangking banyaknya orang penjual jenang menjadi kualahan sehinga diputuskan untuk melelang jenang itu, dan siapa yang berani dengan harga tertinggi dialah orang yang berhak memilikinya.
Aku berani 10.000 (teriak salah satu orang di tengah-tengah kerumunan), 15.000 dan yang lain ada yang berani sampai 25.000, suasanapun menjadi tambah tak karuan karena mereka saling bersikeras untuk memiliki jenang itu.
Diwaktu yang sama, di pinggir kota terdapat kelompok perampok yang baru saja berhasil merampok besar-besaran, pesta minuman keras dan bermain perempuan bersamapun digelar di markas mereka. Karena minuman keras yang tersedia telah habis dan merasa belum puas maka pemimpin mereka menyuruh kacungnya untuk membeli minuman dipasar dengan memberinya uang Rp. 500.000,- . Sesampai dipasar dia malah merasa bingung melihat semua orang berkerumun pada satu tempat, karena merasa penasaran dia juga mendekat.
Pada saat dia mendekat, dia kaget dan bingung dengan apa yang diperebutkan, setelah dia tahu dengan apa yang dibahas hanya sepotong jenang, awalnya dia menganggap orang-orang bodoh semua. “trimo jenang gawe rebutan, dolan gonku malah tak ke’i sak wakul” (gumamnya). Tapi setelah dia tahu kalau jenang itu pernah dipegang oleh seorang ulama besar, dia mulai penasaran dan sontak dia berkata “Aku wani Rp 500.000” Karena ulahnya tadi semua orang terdiam dan semua pandangan mengarah kepadanya. Penjual tersenyum dan berkata “Karang sampean seng wani paling larang, saiki jenang iki dadi we’e sampean.
Setelah dia menerimsa jenang itu semua orang bubar dengan perasaan kecewa dan kembali beraktivitas seperti semula. Lain halnya dengan dengan kacung tadi, dia malah merasa bingung karena menerima jenang tersebut “Aku ki kon tuku wedang galak kok malah entok jenang, meh tak gawe opo ki. Waduh si Bos mesti muring ki” Dia merasa kawatir karena takut mendapat marah dari bosnya. Tapi mau nggak mau dia harus kembali lagi ke markas dengan membawa sepotong jenang.
Di markas Bos perampok dan yang lainya telah menunggu minuman yang dibeli oleh salah satu anggotanya. “Tuku wedang nandi sakjane bocah ke tho” (kata bos) “Nek Chino ya’e bos, ha ha ha” (celoteh yang lain) “Hayo paling, rak reti selak ra sabar barang kok” (sahut bos) Tak lama kemudian kacung Nampak kelihatan. “Lha ka’e nak bocah’e tho bos” (kacung lain) setelah sampai dia ditanya oleh bos:
Bos :”Ndi wedange dol, dinteni wet mau kok”
Kacung :”A a a anu bos” (jawabnya gagap)
Bos :”Ona anu, ndi eg cepet”.
Kacung :”Ora oleh bos”
Bos :”Maksute po?”
Kacung :”Duwite tak gawe tuku jenang bos, iki jenange”
Bos :”Duet Rp 500.000 mung entok jenang sak upel iki thok, kowe kok jan goblok men tho”
Kacung :”E eh tapi ki jenang ra senbarangan jenang bos”
Bos :”Prek cuh, jenang yow jenang tho dol”
Kacung :”Ki jenang ki wes tahu dimek karo wali bos, mau we wong sak pasar rebutan jenang ki, terus yo aku teko wani Rp 500.000”
Bos :”Mosok jenang ra mbejaji koyo ngene gawe rebutan, rak percoyo aku”
Kacung :”Sumpah bos aku rak ngapusi, jenenge seng ngemek ki wali Dunnun”
Bos :”Aku kok dadi penasaran karo seng jenenge Dunnun tho, yo kapan-kapan awak’e dewe dolan bareng rono, kok ampuhmen gayane”
Setelah tahu di mana tempat tinggal Mbah Dunnun mereka memutuskan untuk berkunjung bersama, sesampainya di depan rumah mbah Dunnun yang ada dihati kecil mereka hanyalah ejekan “Mosok omahe we doyong koyo ngene eg, jarene ampuh” (bisik mereka dalam hati) Tapi setelah salah satu dari mereka mengucapkan kata sapa mereka malah terheran dengan apa yang mereka peroleh dari cara mbah Dunnun menjamu karena mereka merasa belum pernah di-ramah tamahi seperti apa yang dilakukan mbah Dunnun barusan, bermula dari penasaran, kemudian merasa heran karena diperlakukan baik, hingga pada akhirnya mereka memutuskan menjadi mualaf.
Seorang dengan penampilan compang-camping, dengan baju yang seharusnya tidak layak lagi untuk dipakai, bahkan dia dikenal sebagai seorang wali tersohor. Sebenarnya siapakah dia sebenarnya. Dialah mbah Dunnun As’ary atau mbah Dunnun orang biasa menyapa semua orang mengenalinya sampai keshalehan serta kealiman beliau telah diketahui oleh semua orang.
Suatu hari, mbah Dunnun bermaksud untuk jalan-jalan ke pasar, semua orang tahu kalau beliau merupakan ulama’ sehingga semua orang di pasar tunduk dan menaruh hormat kepadanya. Disaat beliau bermaksud menanyakan harga jenang, percakapan antara mbah Dunnun dengan penjual jenang
mBah Dunnun :”Jenang iki regane piro”.(memegang sepotong jenang yang ada di hadapannya)
Penjual :”Mboten mbah, menawi jenengan ngersakke mang pendet mawon”.(salting)
mBah Dunnun :”Iki regane piro” (mengulang pertanyaan yang sama)
Penjual :”Mboten mBah mang beto mawon, mboten nopo-nopo”.
mBah Dunnun :”Aku ki mung tekok iki regane piro”
Penjual :”Gangsal ewu mbah” (sambil menahan malu)
Karena bermaksud hanya bertanya maka setelah tahu harganya mbah Dunnun meletakkan kembali jenang tersebut dan pergi dari pasar. Karena tahu jenang tersebut baru saja dipegang lumayan lama oleh mbah Dunnun, seketika itu juga semua penjual dan pembeli di pasar ramai berkerumun di depan penjual jenang dimana tadi mbah Dunnun sempat memegang jenang untuk berebut memiliki jenang yang dianggap berkah karena telah di pegang oleh seorang wali. Karena sangking banyaknya orang penjual jenang menjadi kualahan sehinga diputuskan untuk melelang jenang itu, dan siapa yang berani dengan harga tertinggi dialah orang yang berhak memilikinya.
Aku berani 10.000 (teriak salah satu orang di tengah-tengah kerumunan), 15.000 dan yang lain ada yang berani sampai 25.000, suasanapun menjadi tambah tak karuan karena mereka saling bersikeras untuk memiliki jenang itu.
Diwaktu yang sama, di pinggir kota terdapat kelompok perampok yang baru saja berhasil merampok besar-besaran, pesta minuman keras dan bermain perempuan bersamapun digelar di markas mereka. Karena minuman keras yang tersedia telah habis dan merasa belum puas maka pemimpin mereka menyuruh kacungnya untuk membeli minuman dipasar dengan memberinya uang Rp. 500.000,- . Sesampai dipasar dia malah merasa bingung melihat semua orang berkerumun pada satu tempat, karena merasa penasaran dia juga mendekat.
Pada saat dia mendekat, dia kaget dan bingung dengan apa yang diperebutkan, setelah dia tahu dengan apa yang dibahas hanya sepotong jenang, awalnya dia menganggap orang-orang bodoh semua. “trimo jenang gawe rebutan, dolan gonku malah tak ke’i sak wakul” (gumamnya). Tapi setelah dia tahu kalau jenang itu pernah dipegang oleh seorang ulama besar, dia mulai penasaran dan sontak dia berkata “Aku wani Rp 500.000” Karena ulahnya tadi semua orang terdiam dan semua pandangan mengarah kepadanya. Penjual tersenyum dan berkata “Karang sampean seng wani paling larang, saiki jenang iki dadi we’e sampean.
Setelah dia menerimsa jenang itu semua orang bubar dengan perasaan kecewa dan kembali beraktivitas seperti semula. Lain halnya dengan dengan kacung tadi, dia malah merasa bingung karena menerima jenang tersebut “Aku ki kon tuku wedang galak kok malah entok jenang, meh tak gawe opo ki. Waduh si Bos mesti muring ki” Dia merasa kawatir karena takut mendapat marah dari bosnya. Tapi mau nggak mau dia harus kembali lagi ke markas dengan membawa sepotong jenang.
Di markas Bos perampok dan yang lainya telah menunggu minuman yang dibeli oleh salah satu anggotanya. “Tuku wedang nandi sakjane bocah ke tho” (kata bos) “Nek Chino ya’e bos, ha ha ha” (celoteh yang lain) “Hayo paling, rak reti selak ra sabar barang kok” (sahut bos) Tak lama kemudian kacung Nampak kelihatan. “Lha ka’e nak bocah’e tho bos” (kacung lain) setelah sampai dia ditanya oleh bos:
Bos :”Ndi wedange dol, dinteni wet mau kok”
Kacung :”A a a anu bos” (jawabnya gagap)
Bos :”Ona anu, ndi eg cepet”.
Kacung :”Ora oleh bos”
Bos :”Maksute po?”
Kacung :”Duwite tak gawe tuku jenang bos, iki jenange”
Bos :”Duet Rp 500.000 mung entok jenang sak upel iki thok, kowe kok jan goblok men tho”
Kacung :”E eh tapi ki jenang ra senbarangan jenang bos”
Bos :”Prek cuh, jenang yow jenang tho dol”
Kacung :”Ki jenang ki wes tahu dimek karo wali bos, mau we wong sak pasar rebutan jenang ki, terus yo aku teko wani Rp 500.000”
Bos :”Mosok jenang ra mbejaji koyo ngene gawe rebutan, rak percoyo aku”
Kacung :”Sumpah bos aku rak ngapusi, jenenge seng ngemek ki wali Dunnun”
Bos :”Aku kok dadi penasaran karo seng jenenge Dunnun tho, yo kapan-kapan awak’e dewe dolan bareng rono, kok ampuhmen gayane”
Setelah tahu di mana tempat tinggal Mbah Dunnun mereka memutuskan untuk berkunjung bersama, sesampainya di depan rumah mbah Dunnun yang ada dihati kecil mereka hanyalah ejekan “Mosok omahe we doyong koyo ngene eg, jarene ampuh” (bisik mereka dalam hati) Tapi setelah salah satu dari mereka mengucapkan kata sapa mereka malah terheran dengan apa yang mereka peroleh dari cara mbah Dunnun menjamu karena mereka merasa belum pernah di-ramah tamahi seperti apa yang dilakukan mbah Dunnun barusan, bermula dari penasaran, kemudian merasa heran karena diperlakukan baik, hingga pada akhirnya mereka memutuskan menjadi mualaf.
0 comments: