للرفع و النصب و جرنا صلح # كاعرف بنا فإننا نلنا المنح

Oleh : Kakang Loetpie 13D
Disetiap tingkatan kelas di pondok salaf pasti mempunyai hafalan wajib, yang biasanya hafalan dari fan ilmu nahwu, seperti di tingkat ula wajib menghafal Tamrinatul Athfal, di tingkat wustho Al jurumiyah dan di tingkat Ulya dengan Alfiyah Ibnu Malik, untuk Alfiyah Ibnu Malik ini bagi tentu telah mengenalnya, karena hafalan yang satu ini menjadi hafalan pokok bagi santri di tingkat Ulya di hampir seluruh Pesantren salaf manapun. Selain itu juga karena kitab yang satu ini terkenal sulit untuk ditaklukkan, selain karena jumlahnya yang banyak, yakni 1000 lebih, sehingga membutuhkan tingkat keistiqomahan yang tinggi untuk menghafalkannya, juga karena memang membutuhkan pemahaman yang agak tinggi guna memahami kitab yang satu ini. Karena hal tersebut, sehingga Kitab ini diletakkan sebagai hafalan wajib untuk tingkatan kelas tertinggi yakni Ulya. Namun dari hal di atas tak jarang justru banyak santri yang termotivasi untuk menaklukannya, karena justru menjadi sebuah tantangan.
Dalam setiap hafalan wajib, santri pastinya memiliki beberapa bait favorit, yang bukan hanya dimaknai secara tersurat dalam kontek ilmu nahwu atau sorof, namun juga dimaknai secara tersirat dalam kontek kehidupan. Kiranya seperti itulah yang dicontohkan oleh Syikhuna Simbah Kholil, dari Bangkalan, Madura. Alkisah beliau sering menghukumi permasalahan yang diajukan kepanya, dengan menggunakan rujukan dari Alfiyah Ibnu Malik ini.
Maka, kali ini penulis mencoba memaknai salah satu bait dalam Alfiyah Ibnu Malik, bukan Cuma secara tersurat, namun juga secara tersurat, dan bait tersebut terdapat dalam bab an nakiroh wa al ma’rifat,  (النكرة و المعرفة)tepatnya bait nomor 58, yang berbunyi :
 للرفع و النصب و جرنا صلح  كاعرف بنا فإننا نلنا المنح
Secara tersurat, bait ini bermakna : “ Dzomirna(نا)merupakan dzomir yang istimewa, karena bisa menempati makhal rafa, nasob dan jer, tampa kehilangan sifat kemuttasilan dan dilalahnya. Seperti contoh yang disebutkan dalam bait kedua,
 اعرف بنا (جير) فإننا (نصب) نلن المنح (رفع)
Dzomir hum  (هم)sebenarnya juga bisa bertempat dalam tiga irob di atas, rofa, nasob dan jer, namun tidak bisa untuk tetap menempati sifat kemuttasilannya, contoh:  لهم , إنهم (متصل), هم قائمون (منفصل)
Begitupun juga Dzomir yaa, (يا)namun untuk dzomir ini tidak bisa tetap dalam menunjukkan dilalahnya contoh:
 لي, اني (تكلم) اضربي (خطاب)
Kiranya seperti itulah keistimewaan Dzomir Naa tersebut secara makna tersurat dalam kontek ilmu nahwu, kemudian makna tersirat dua bait di atas, menurut versi penulis ialah “ tentang bagaimana kita mampu menjadi seperti Dzomir Naa, tersebut dalam artian kita harus tetap solih, walaupun dalam keadaan apapun, entah itu sedang luang (di wujudkan sebagai I’rob rafa’), sedang (nasob), dan kekurangan (jer), setelah itu barulah kita bisa dikatakan sebagai seorang yang memperoleh anugrah (اعرف بنا فإننا نلنا المنح).
Bila kita hubungkan dengan kita sebagai santri, maka pemaknaan tersiratpun tidak jauh seperti yang telah disebutkan, yakni kita sebagai santri harus mampu tetap hidup ala santri walaupun dalam kondisi apapun, dimanapun dan kapanpun, kita menjaga kemutasilan (loyalitas) kita terhadap Pesantren, dan tetap menjaga dilalah (jatidiri) kita sebagai santri, sekali lagi barulah kita termasuk orang – orang yang mendapat anugrah, dan kita mampu menjadi santri “ fi al dunya hatta al akhirot”.
Tentunya sepenggal bait ini bisa kita anatomikan dalam berbagai bidang kehidupan, yaa silahkan bagi pembaca untuk mengembangkannya sendiri. Maka kiranya apa yang penulis sampaikan semoga mampu menginspirasi para pembaca, sehingga mampu memunculkan sebuah pemaknaan baru dari apa yang telah kita pelajari, karena sesungguhnya apa yang kita pelajari begitu sangatlah luas.
Kiranya, hanya satu yang menjadi harapan penulis, yakni penulis semoga mampu untuk menjadi seperti apa yang ia tulis. Dan mewujud sebagai santri “ fi al dunya hatta al akhirot”.
“JANGAN BIARKAN APA YANG ADA DALAM OTAKMU MEMBUSUK DAN TIDAK BERGUNA, UNGKAPKANLAH DAN TULISLAH”

0 comments: